Sejarah Daerah Istimewa Yogyakarta
Sejarah Daerah Istimewa Yogyakarta
Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) adalah wilayah tertua kedua di Indonesia setelah Jawa Timur,
yang dibentuk oleh pemerintah negara bagian Indonesia. Provinsi ini
juga memiliki status istimewa atau otonomi khusus. Status ini merupakan
sebuah warisan dari zaman sebelum kemerdekaan. Kesultanan Yogyakarta dan juga Kadipaten Paku Alaman, sebagai cikal bakal atau asal usul DIY, memiliki status sebagai “Kerajaan vasal/Negara bagian/Dependent state” dalam pemerintahan penjajahan mulai dari VOC , Hindia Perancis (Republik Bataav Belanda-Perancis), India Timur/EIC (Kerajaan Inggris), Hindia Belanda
(Kerajaan Nederland), dansendiri terakhir Tentara Angkatan Darat XVI Jepang
(Kekaisaran Jepang). Oleh Belanda status tersebut disebut sebagai Zelfbestuurende Lanschappen dan oleh Jepang disebut dengan Koti/Kooti.
Status ini membawa konsekuensi hukum dan politik berupa kewenangan
untuk mengatur dan mengurus wilayah [negaranya] di bawah
pengawasan pemerintah penjajahan tentunya. Status ini pula yang kemudian
juga diakui dan diberi payung hukum oleh Bapak Pendiri Bangsa Indonesia
Soekarno yang duduk dalam BPUPKI dan PPKI sebagai sebuah daerah bukan lagi sebagai sebuah negara[1].
Wafat Sultan HB IX (1988) dan Sri Paduka PA VIII (1998)
Sultan HB IX Raja Kesultanan Yogyakarta sekaligus Gubernur I Prov. DIY
Sultan HB IX hanya sepuluh tahun memangku kembali sebagai
Gubernur/Kepala Daerah Istimewa. Pada 1988, Beliau wafat di Amerika
Serikat saat berobat. Sultan Hamengku Buwono IX tercatat sebagai
Gubernur terlama yang menjabat di Indonesia antara 1945-1988 dan Raja Kesultanan Yogyakarta terlama antara 1940-1988. Pemerintah Pusat tidak mengangkat Sultan Hamengku Buwono X (HB X) sebagai Gubernur Definitif melainkan menunjuk Sri Paduka Paku Alam VIII, Wakil Gubernur/Wakil Kepala Daerah Istimewa, sebagai Penjabat Gubernur/Kepala Daerah Istimewa[23].
Pada saat reformasi, tanggal 20 Mei 1998, sehari sebelum pengunduran diri presiden terdahulu (former president) Presiden Soeharto,
Sultan HB X bersama-sama dengan Sri Paduka PA VIII mengeluarkan sebuah
maklumat yang pada pokoknya berisi "ajakan kepada masyarakat untuk
mendukung gerakan reformasi damai, mengajak ABRI
(TNI/Polri) untuk melindungi rakyat dan gerakan reformasi, untuk
menjaga persatuan dan kesatuan, dan mengajak masyarakat untuk berdoa
bagi Negara dan Bangsa". Maklumat tersebut dibacakan di hadapan
masyarakat dalam acara yang disebut Pisowanan Agung[23].
Beberapa bulan setelahnya beliau menderita sakit dan meninggal pada
tahun yang sama. Sri Paduka Paku Alam VIII tercatat sebagai wakil
Gubernur terlama (1945-1998) dan Pelaksana Tugas Gubernur terlama
(1988-1998) serta Pangeran Paku Alaman terlama (1937-1
Pro Kontra Suksesi Gubernur I (1998)
Meninggalnya Sri Paduka PA VIII menimbulkan masalah bagi Pemerintahan
Provinsi DIY dalam hal kepemimpinan. Terjadi perdebatan antara
Pemerintah Pusat, DPRD Provinsi DIY, Pihak Keraton Yogyakarta dan Puro
Paku Alaman, serta masyarakat. Keadaan ini sebenarnya disebabkan oleh
kekosongan hukum yang ditimbulkan UU No. 5/1974 yang hanya mengatur
jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi DIY saat dijabat oleh
Sultan HB IX dan Sri Paduka PA VIII, dan tidak mengatur masalah
suksesinya. Atas desakan rakyat, Sultan HB X ditetapkan sebagai
Gubernur/Kepala Daerah Istimewa oleh Pemerintah Pusat untuk masa jabatan
1998-2003[23].
Karena suksesi di Puro Paku Alaman untuk menentukan siapa yang akan
bertahta menjadi Pangeran Adipati Paku Alam tidak berjalan mulus, maka
Sultan HB X tidak didampingi oleh Wakil Gubernur/Wakil Kepala Daerah
Istimewa. Pada tahun 1999 Sri Paduka Paku Alam IX naik tahta, namun beliau belum menjabat sebagai Wakil Gubernur/Wakil Kepala Daerah istimewa
Pernyataan Pengunduran Diri Sultan HB X
Prov. DIY tahun 2007 beserta Kab/Kota di lingkungannya
Di tengah silang pendapat masyarakat mengenai keistimewaan DIY, pada 7 April 2007, Sultan HB X mengeluarkan pernyataan bersejarah[32]
lewat orasi budaya pada perayaan ulang tahunnya yang ke-61, yang pada
intinya tidak bersedia lagi untuk dipilih sebagai Gubernur DIY setelah
masa jabatannya selesai tahun 2008[33].
Pernyataan Sultan HB X itu mendapat tanggapan dari berbagai pihak. Sofian Effendi[34]
(rektor UGM pada saat itu) menyampaikan bahwa keraton memang tidak
perlu ikut kegiatan dalam pemerintahan sehari-hari, Sultan atau Keraton
harus harus di atas itu tetapi keuangan keraton harus dijamin anggaran
daerah. Sedangkan keistimewaan DIY menurutnya dapat meniru kesultanan di
Malaysia atau sistem monarki parlementer Inggris. Sementara itu Purwo
Santoso[34] pakar otda UGM menilai sebagai langkah positif bagi perkembangan demokrasi dan tidak menyalahi keistimewaan.
Bagi Roy Suryo[35]
pakar telematika yang juga kerabat Paku Alaman pernyataan Sultan HB X
merupakan “sabdo pandhito ratu” dan memerlukan penelaahan lebih lanjut.
Roy berharap keistimewaan DIY tidak dirusak dengan adanya pilkada. Herry
Zudianto[36] (Wali kota Yogyakarta) tidak setuju keraton dan raja dipisahkan sama sekali dari sistem pemerintahan.
Warga Bantul[37]
siap menggelar Pisowanan Agung untuk meminta kejelasan tentang
pernyataan Sultan serta menyampaikan aspirasi agar Sultan HB X tetap
bersedia memimpin. Para lurah yang tergabung dalam Asosiasi Pemerintahan
Akhirnya pada 18 April 2007, Sultan HB X menegaskan kembali untuk
tidak menjadi Gubernur DIY dalam Pisowanan Agung yang dihadiri sekitar
40.000 warga Yogyakarta[38].
Desa Indonesia juga akan menemui Sultan untuk menyampaikan keberatan[36].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar